Pendahuluan - Konsep Filsafat dan Sejarahnya
Apa Filsafat itu?
Secara etimologi atau asal usul bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, “philosophia”, yang merupakan penggabungan dua kata yakni “philos” atau “philein” yang berarti “cinta”, “mencintai” atau “pencinta”, serta kata “sophia” yang berarti “kebijaksanaan” atau “hikmat”. Dengan demikian, secara bahasa, “filsafat” memiliki arti “cinta akan kebijaksanaan”.
Selain terminologi “filsafat”, terdapat pula sejumlah istilah yang serupa dengan “filsafat” yaitu “falsafah”, “falsafi” atau “filsafati”, “berpikir filosofis” dan “mempunyai filsafat hidup”. “Falsafah” itu tidak lain filsafat itu sendiri. “Falsafi” atau “filsafati” artinya “bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat”. “Berpikir filosofis”, adalah berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosopher, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Filsafat menurut para ahli
- Aristoteles (384–322 SM): Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu seperti metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
- Plato (427–347 SM): Filsafat adalah pengetahuan yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
- Al-Farabi (872–950 M): Filsafat merupakan ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan menyelidiki bagaimana hakikatnya.
- Immanuel Kant (1724-1804 M) mengutarakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang di dalamnya mencakup empat persoalan, yaitu apa yang dapat diketahui manusia (metafisika), apa yang boleh dilakukan manusia (etika), sampai di mana harapan manusia (agama), dan apa yang dinamakan manusia (antropologi).
- Rene Descartes (1596–1650): Filsafat adalah ilmu yang menggunakan rasio atau akal budi untuk mencari kebenaran.
- Bertrand Russell (1872–1970): Filsafat adalah usaha untuk memahami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
- Sir Francis Bacon (1561-1626 M), menyebutkan bahwa filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu. Filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.
- G.W.F Hegel (1770-1831): menggambarkan filsafat sebagai landasan maupun pencerminan dari peradaban. Sejarah filsafat karenanya merupakan pengungkapan sejarah peradaban, dan begitu juga sebaliknya.
- Herbert Spencer (1820-1903): menggariskan filsafat sebagai nama pengetahuan tentang generalitas yang tingkatannya paling tinggi
- Harold H.Titus: ada lima pengertian filsafat, yaitu; a) suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta; b) proses kritik terhadap kepercayaan dan sikap; c) usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan ; d) analisis dan penjelasan logis dari bahasa tentang kata dan konsep; e) sekumpulan problem yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya.
- D.C Mulder: menyatakan bahwa filsafat adalah pemikiran teoretis tentang susunan kenyataan secara keseluruhan.
- Fuad Hasan: filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal ; radikal dalam arti mulai dari radiksnya suatu gejala, yaitu akar sesuatu yang hendak dibahas. Dengan jalan penjajakan yang radikal ini, filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
- N. Drijarkara: filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat yang diterima, mencoba memperlihatkan pandangan lain yang merupakan akar permasalahan. Filsafat tidak mengarah pada sebab-sebab yang terdekat, tapi pada “mengapa” yang terakhir, sepanjang merupakan kemungkinan berdasarkan pada kekuatan akal budi manusia.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia: filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya.
- Dictionary of Philosophy: mencari kebenaran serta kebenaran itu sendiri adalah filsafat. Bila seseorang menjawab sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal serta bertanggungjawab, sistem pemikirannya serta kegiatannya itu disebut filsafat.
Perkembangan Filsafat
Filsafat India
Filsafat India berakar pada keyakinan akan kesatuan antara manusia dan alam, serta pentingnya hidup harmonis dengan kosmos. Tujuan utamanya adalah mencapai kesadaran akan kesatuan diri (Atman) dengan alam semesta (Brahman), yang membawa pada keselamatan (moksha). Perkembangannya dibagi dalam beberapa periode:
-
Zaman Weda (2000–600 SM)Ditandai oleh kedatangan bangsa Arya dan lahirnya teks-teks Weda. Upanishad menjadi dasar filsafat India, mengajarkan kesatuan Atman dan Brahman.
-
Zaman Skeptisisme (200 SM–300 M)Reaksi terhadap ritualisme dan metafisika rumit. Buddhisme muncul sebagai ajaran praktis dari Gautama Buddha untuk mengurangi penderitaan dan mencapai pencerahan.
-
Zaman Puranis (300–1200 M)Dominasi spekulasi teologis tentang inkarnasi dewa-dewa, tercermin dalam epos Mahabharata dan Ramayana. Buddhisme mulai surut di India.
-
Zaman Muslim (1200–1757 M)Muncul tokoh Kabir dan Guru Nanak yang mencoba menyatukan unsur-unsur Islam dan Hinduisme dalam ajaran universal dan aliran Sikh.
-
Zaman Modern (setelah 1757 M)Di bawah pengaruh kolonial Inggris, terjadi pembaruan nilai-nilai klasik dan sosial. Tokoh penting: Raja Ram Mohan Roy (monoteisme dan moralitas universal), Vivekananda (semua agama benar, Hindu cocok untuk India), Gandhi (ajaran moral dan non-kekerasan), dan Rabindranath Tagore (pemikir religius dan pelopor keterbukaan terhadap ide luar).
Filsafat Cina
a. Zaman Klasik disebut sebagai masa “seratus sekolah filsafat” karena banyaknya aliran pemikiran yang berkembang. Meskipun berbeda-beda, mereka memiliki kesamaan dalam penggunaan konsep-konsep penting seperti tao (jalan), te (keutamaan), yen (perikemanusiaan), i (keadilan), t’ien (surga), dan yin-yang (harmoni prinsip laki-laki dan perempuan). Aliran-Aliran Filsafat Utama:
-
Konfusianisme (Kong Fu Tse / Konfusius): Ajaran bersifat etis dan menekankan kesetaraan hakiki semua manusia. Menekankan bahwa Tao adalah “jalan manusia” dan hanya bisa dijalani dengan hidup baik dan berkeutamaan. Kebaikan hidup dicapai melalui perikemanusiaan (yen).
-
Taoisme (Lao Tse): Tao adalah “jalan alam” dan bersifat metafisis, mutlak, dan tidak dapat dinamai. Menolak pendekatan moral seperti Konfusianisme dan menekankan hidup mengikuti aliran alam secara alami (Wu Wei). Inti dari kebijaksanaan adalah menyadari bahwa manusia tidak bisa memahami Tao sepenuhnya.
-
Moisme (Mo Tse): Mempromosikan cinta universal, kemakmuran bersama, dan anti-perang. Pendekatan pragmatis: sesuatu dianggap baik bila berguna dan jahat bila tidak berguna.
-
Fa Chia (Sekolah Hukum): Fokus pada kekuatan hukum dan sistem undang-undang yang keras untuk mengatur masyarakat. Tidak berbicara tentang nilai moral atau spiritual, tapi tentang cara memerintah yang efektif dan tegas.
b. Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M)
-
Tao mengalami reinterpretasi seiring masuknya Buddhisme ke Cina.
-
Tao dipandang setara dengan Nirwana—sebuah kondisi transenden, di luar segala nama dan konsep, melampaui eksistensi.
-
Integrasi ini menandai percampuran antara metafisika Taois dan ajaran Buddha.
c. Zaman Neo-Konfusianisme (1000 – 1900 M)
-
Konfusianisme kembali dominan karena dianggap lebih sesuai dengan nilai-nilai tradisional Cina, seperti keluarga dan kemakmuran duniawi.
-
Buddhisme dianggap asing karena mengabaikan kehidupan dunia, keluarga, dan nilai material yang penting dalam budaya Cina.
-
Pemikiran etika dan sosial klasik kembali ditegaskan.
d. Zaman Modern (setelah 1900 M)
-
Masuknya pengaruh filsafat Barat, terutama pragmatisme Amerika, membawa ide-ide baru.
-
Terjadi reaksi balik berupa kebangkitan tradisi lokal dan nasionalisme budaya.
-
Sejak 1950, filsafat Cina banyak dipengaruhi oleh Marxisme, terutama pemikiran Marx, Lenin, dan Mao Zedong, yang menjadi fondasi ideologis negara.
Filsafat Islam
Pada abad ke-4 SM, Aleksander Agung menyebarkan kebudayaan Yunani ke Timur Tengah dengan membaurkan penduduk lokal dan warga Yunani. Ini memunculkan pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah, Antakia, dan Jundisyapur, yang menjadi dasar berkembangnya filsafat dan ilmu di wilayah tersebut.
Dalam sejarah pemikiran Islam, muncul aliran teologi rasional Mu’tazilah, yang memiliki beberapa ciri utama:
-
Akal ditempatkan lebih tinggi dari penafsiran literal wahyu, sehingga mereka menafsirkan wahyu secara majas (takwil).
-
Manusia dianggap makhluk bebas (free-will dan free-act), yang bisa berpikir dan bertindak secara mandiri.
-
Tuhan dipahami sebagai Mahaadil, dan keadilan-Nya menjadi dasar pemikiran mereka.
-
Percaya akan adanya hukum alam (Sunnatullah) yang dapat dipelajari demi kesejahteraan manusia.
Aliran ini mendorong perkembangan filsafat dan sains Islam, terutama antara abad ke-8 dan ke-13 M. Filsuf Islam pertama yang terkenal adalah al-Kindi (796–873 M). Ia menyatakan bahwa filsafat dan agama tidak bertentangan, karena keduanya mencari kebenaran. Filsafat menggunakan akal dan argumen rasional dalam proses pencarian tersebut, sejalan dengan ajaran agama.
Pemurnian konsep tauhid menjadi fokus penting dalam teologi dan filsafat Islam, sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Farabi (870–950 M). Ia menegaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak mungkin berhubungan langsung dengan ciptaan-Nya yang tak terhingga jumlahnya, karena hal tersebut akan menimbulkan arti kemajemukan dalam Dzat-Nya. Agar tetap murni dalam keesaan-Nya, Tuhan menurut al-Farabi hanya berhubungan dengan yang esa. Pemikiran ini menunjukkan upaya al-Farabi untuk menjaga kemurnian tauhid secara filosofis.
Di sisi lain, teologi Asy’ari muncul sebagai lawan dari teologi rasional Mu’tazilah dan bercorak tradisional. Dalam pandangan Asy’ariyah, akal manusia memiliki kedudukan rendah dan tidak dijadikan dasar dalam menafsirkan wahyu. Mereka lebih memilih makna harfiah dari teks agama dan menolak penyesuaian dengan pemikiran filosofis atau ilmiah. Manusia dalam teologi ini dianggap lemah dan tidak mampu berdiri sendiri, mirip anak yang belum dewasa. Aliran ini menganut paham Jabariah, yaitu kepercayaan pada takdir (qada dan qadar), yang menyebabkan pandangan hidup yang cenderung pasif dan statis. Pemikiran teologis Asy’ariyah juga menekankan bahwa segala hal diatur oleh kehendak mutlak Tuhan, bukan oleh hukum alam. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui hukum alam sebagai suatu ketetapan pasti, melainkan hanya sebagai kebiasaan yang terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan, seperti api yang “biasanya” membakar, bukan karena hukum tetap.
Filsafat Barat
a. Zaman Kuno
Zaman Kuno dalam filsafat Barat dimulai dari para filsuf pra-Sokrates di Yunani sekitar tahun 600 SM, dengan pusat awal pemikiran berada di kota Milete, Asia Kecil. Kota ini menjadi pusat intelektual karena letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan dan pertemuan berbagai budaya. Para filsuf awal dari Milete seperti Thales, Anaximander, dan Anaximenes berfokus pada filsafat alam dan mencari unsur dasar (archè) dari segala sesuatu. Thales menyatakan air sebagai unsur utama, Anaximander mengusulkan “yang tak terbatas” (apeiron), dan Anaximenes menganggap udara sebagai asal segala yang ada. Di Italia Selatan, Pythagoras memperkenalkan pandangan bahwa realitas pada dasarnya terdiri dari bilangan-bilangan dan ritme, serta mendirikan sebuah komunitas filsafat yang menyerupai biara. Sementara itu, Herakleitos menekankan bahwa segala sesuatu bersifat berubah (panta rhei), sedangkan Parmenides justru berpendapat sebaliknya: bahwa kenyataan sejati bersifat tetap, abadi, dan satu. Pandangan-pandangannya ini menjadi fondasi penting bagi perkembangan pemikiran filsafat Barat selanjutnya.
b. Puncak Zaman Klasik: Sokrates, Plato, dan Aristoteles
Puncak kejayaan filsafat Yunani dicapai melalui pemikiran Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Sokrates (± 470–400 SM) menekankan pentingnya akal budi sebagai norma utama dalam bertindak dan memperkenalkan metode dialektika, yakni pencarian kebenaran lewat tanya jawab yang kritis dan sistematis. Ia tidak menulis karya sendiri, namun gagasannya dikenal terutama melalui karya Plato, muridnya.
Plato (428–348 SM) mengembangkan filsafat dualisme antara dunia nyata yang berubah-ubah dan dunia ide yang abadi dan sempurna, tempat asal jiwa manusia. Menurut Plato, pengetahuan adalah bentuk ingatan jiwa terhadap dunia ide. Filsafatnya mencakup banyak bidang seperti logika, etika, politik, dan estetika, dan mempertemukan ajaran Herakleitos tentang perubahan dan ajaran Parmenides tentang keabadian.
Sementara itu, Aristoteles (384–322 SM), murid Plato dan guru Aleksander Agung, menolak pandangan tentang dunia ide terpisah. Ia menyatakan bahwa bentuk (ide) menyatu dalam materi, dan keduanya tak dapat dipisahkan. Ia memperkenalkan pendekatan sistematis dan metode induksi yang berpengaruh besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Karyanya meliputi logika, metafisika, etika, politik, psikologi, dan ilmu alam.
c. Zaman Patristik
Patristik, yang berasal dari kata Latin "Patres" atau "Bapa-bapa Gereja", merupakan ajaran falsafi-teologis yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh awal Gereja Kristen. Ajaran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plotinos dan bertujuan untuk menunjukkan bahwa iman sejalan dengan pemikiran manusia yang paling mendalam. Para Bapa Gereja berhasil membela ajaran Kristen dari serangan filsuf-filsuf non-Kristen (kafir) dan menghasilkan tulisan-tulisan yang kaya makna serta tetap memberikan inspirasi hingga kini.
Komentar
Posting Komentar